Sulitnya Menghadirkan Keteladanan

Dari hari ke hari pemberitaan media massa ramai oleh atraksi negatif dari tokoh-tokoh publik yang mencederai hati nurani. Mereka yang mestinya menghadirkan contoh praktis keteladanan justru menampilkan tindakan yang bertolak belakang. Beberapa pejabat publik harus berhadap-hadapan dengan hukum karena terjerat kasus korupsi.
Menurut siaran pers KPK, dalam rentang 2004-2016 terdapat 63 kepala daerah yang terdiri dari 52 bupati/walikota dan 11 gubernur yang terjerat kasus korupsi dengan beragam modus. Tak heran jika dari waktu ke waktu, kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara semakin tergerus. Mereka yang tersangkut kasus korupsi pandai meneriakan jargon anti korupsi tetapi terjerembab pada tindakan koruptif.

Jika melihat kasus-kasus tersebut kita semakin sulit untuk belajar arti kesederhanaan hidup dari para pejabat publik di negeri ini. Padahal dari buku-buku sejarah kita tahu betapa sederhananya para tokoh bangsa di masa lalu. Ada kisah tentang Bung Hatta yang hanya bisa menyimpan lipatan gambar sepatu Bally yang dia idam-idamkan dan akhirnya tak pernah terbeli sampai akhir hayatnya. Juga kisah M. Natsir yang memakai pakaian penuh tambalan meskipun ia seorang perdana menteri.

Sebagai pejabat publik mereka menjaga diri dari perilaku yang dapat mencoreng muka. Berhati-hati dalam bertindak. Mereka menjaga marwah jabatan yang dipegangnya. Sadar sepenuh hati bahwa jabatan yang mereka miliki merupakan amanah rakyat. Kisah tersebut mesti terus diulang-ulang sebagai pengingat bagi kita semua. Mereka tak sebatas mencintai negeri ini dengan retorika semu, tapi dengan perilaku adiluhung. Perilaku nyata yang semakin sulit untuk ditiru pejabat publik saat ini.

Pendidikan Karakter
Tiadanya keteladanan dari para pemimpin bangsa akan semakin membuat bangsa ini terperosok semakin dalam. Anak-anak bangsa yang sedang menempuh jenjang pendidikan semakin sulit mencari tokoh-tokoh yang patut mereka idolakan. Kondisi tersebut semakin menyulitkan proses pendidikan karakter di sekolah. Di tengah sulitnya mendapatkan keteladanan dari pemimpinan bangsa, sekolah perlu semakin kreatif agar internalisasi nilai-nilai karakter berhasil dilakukan.

Dunia pendidikan semakin memikul beban berat untuk mengkonstruksi karakter siswa. Tugas guru semakin sulit. Pelajaran-pelajaran yang disampaikan di ruang-ruang kelas seolah hanya utopia belaka yang ada di dunia ideal, tak bisa dipraktikan di dunia nyata. Selebihnya, di dunia nyata yang kita saksikan dan temui hanyalah kisah-kisah penuh kecurangan dan tipu daya.

Anak-anak ini adalah masa depan bangsa yang perlu dibangun jiwa dan raganya. Berbeda dengan mata pelajaran yang ada ujian tertulisnya dan dapat dengan mudah dipantau berdasarkan catatan nilai. Laku seseorang tak dapat dipantau melalui ujian tertulis. Observasi atau pengamatan seorang guru pun tak bisa menilai secara presisi karakter seseorang.

Memberikan para siswa dengan beragam jargon dan kisah tak akan berhasil mengubah karakter mereka. Jangan sampai pendidikan karakter hanya dilakukan melalui ceramah-ceramah di ruang-ruang kelas. Seolah nilai-nilai kebaikan tentang budi pekerti dan cerita tokoh-tokoh penuh integritas seperti Hatta dan Natsir hanya ada di buku-buku sejarah. Jika demikian, proses pendidikan akhirnya hanya terjebak untuk menghasilkan para juara. Akhirnya Sekolah terperangkap untuk sekedar meluluskan anak-anak bangsa yang terampil dan mumpuni nilai akademiknya.

Dengan target agar lulusannya diterima di dunia kerja maupun di universitas-universitas ternama. Menekankan pada siswa agar jago secara akademik saja dan lupa menguatkan karakter dan mental mereka. Pembiasaan dan praktik nyatalah yang paling penting. Membiasakan anak disiplin, jujur, dan toleran dapat dimulai dari tindakan mudah di keseharian. Membangun budaya sekolah yang menghadirkan aktivitas harian penuh kedisiplinan, toleran terhadap sesama, proses pembelajaran jujur menjadi penting.

Tak lupa orangtua menjadi aktor penting dalam upaya menghadirkan keteladanan. Teladan mereka dalam aktivitas harian sangat memengaruhi mentalitas dan karakter anak-anak. Pendidikan memang upaya kolaborasi aktif orangtua dengan lembaga pendidikan. Tak bisa beban berat ini dipikul oleh salah satu pihak. Betapapun berat, segala upaya perlu ditempuh agar generasi bangsa di masa datang memiliki mentalitas dan karakter yang tangguh. Kita berharap mereka mampu menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

Read more at https://kumparan.com/anggi-afriansyah/sulitnya-menghadirkan-keteladanan#KXIReItz0SFthivI.99

Published by anggiafriansyah

Terlahir dengan nama Anggi Afriansyah, biasa dipanggil Anggi. Sekolah Dasar di SDN Anggrek Cibitung lulus pada tahun 1999; SMP di SMP Negeri 1 Tambun, Bekasi lulus pada tahun 2002; nyantri di Ponpes Cipasung Tasikmalaya sambil Sekolah di MAN Cipasung lulus pada tahun 2005; S1 di Jurusan Ilmu Sosial Politik Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Universitas Negeri Jakarta lulus tahun 2009, setelah itu melanjutkan S2 di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia lulus pada tahun 2014. Sedikit punya pengalaman organisasi sebagi Bendahara Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri Ranting MAN Cipasung, Tasikmalaya (Periode 2003-2004); Kepala Biro Rohani HMJ Ilmu Sosial Politik (Periode 2006-2007); Bergabung di HIMNAS PKn namun tidak terlalu aktif, Kemudian aktif di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (PKPIS) FIS UNJ (2008-2011). Setelah lulus sambil kuliah S2 mendapat kesempatan menjadi Asisten Dosen di Prodi IPS FIS UNJ mengampu Mata Kuliah Dasar-dasar Ilmu Politik (2010-2011), dan menjadi Pengajar di Akademi Kebidanan Prima Indonesia, Mengampu Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar (2011). Pernah menjadi Tentor di Salemba Grup untuk Persiapan SIMAK UI, Mengajar Sosiologi (2012). Pada tahun 2012 mendapat kesempatan yang luar biasa, menjadi Guru PKn selama dua tahun di SMAI Al Izhar Pondok Labu (2012-2014). Tahun 2014 mengajar Mata Kuliah Umum (MKU) Pendidikan Pancasila dan Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Negeri Jakarta, Psikologi Sosial di STKIP Kusuma Negara, dan HAM di Universitas Terbuka. Sesekali terlibat kegiatan penelitian di Kemendikbud mulai tahun 2009. Pada tahun 2014 selama beberapa bulan aktif membantu di Unit Implementasi Kurikulum Kemdikbud. Awal tahun 2015 diterima di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI sebagai peneliti bidang Sosiologi Pendidikan dan terlibat penelitian di bidang Ketenagakerjaan. Sampai saat ini masih berusaha menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Ingin jadi peneliti, penulis, dan pengajar sukses (aamiin). Di Blog ini menulis apapun secara random yang mudah-mudahan bermanfaat bagi diri sendiri dan para pembaca. Selamat membaca, Salam Anggi Afriansyah

Leave a comment